Setelah Gagal Manfaatkan Sidang dan Debat, Paslon 1 dan 3 Ikut Aksi 112 untuk Mainkan SARA,Pak ahok tetap menang bagaimanapun akal busuk atau taktik unutk menjatuhkan elektabilitas pak ahok,satu langkah pun pak ahok takkan mundur,setuju ggk.

Mendekati 15 Februari, elektabilitas Petahana masih tetap tak tergoyahkan. Debat semalam yang merupakan pertaruhan terakhir untuk memperbaiki tingkat elektabilitas, ternyata masih tidak bisa juga dimanfaatkan oleh Paslon 1 dan 3. Belum lagi sidang yang ternyata malah memberikan panggung ke Petahana untuk terus melenggang riang di bawah naungan kesaktian Pancasila.

Dalam debat semalam kita melihat Paslon 1 dan 3 seolah-olah berkubu dan menyerang Petahana. Mereka menggambarkan Ibukota sebagai kota yang perlu diselamatkan. Ada bahaya besar jika Gubernur masih tetap yang sama. Narkoba, kekerasan dalam rumah tangga, keramahan terhadap para penyandang cacat, dan lain sebagainya, dijadikan alat untuk menghantam Petahana. Tanpa didasari data yang akurat, mereka pun menyerang Petahana secara membabi buta. Yang penting serang,
judulnya.


Debat semalam bukan debat antara Paslon 1 vs Paslon 2 vs Paslon 3. Tapi, debat semalam adalah debat antara Paslon 1 + Paslon 3 vs Paslon 2. Kita lihat saat Paslon 3 bertanya ke Paslon 1 atau sebaliknya, tidak ada proses debat disana, sebagaimana yang kita lihat pada debat pertama. Ini menunjukkan bahwa di akhir-akhir laga kampanye, Paslon 1 dan Paslon 3 harus bersinergi untuk menghantam “musuh” yang sebenarnya.

Ini mengingatkan saya kepada seorang anggota DPD yang sangat vokal dengan “al-Maidah ayat 51”. Di akun twitternya ia seringkali menghantam Petahana dengan memainkan isu agama. Ia pernah mencuit untuk menasehati Paslon 1 dan Paslon 3 agar tidak bertengkar pada debat pertama. Kedua paslon sebaiknya fokus melawan Paslon 2. Sebab, ini adalah jihad untuk memenangkan Jakarta.

Kita tahu bersama, saat Petahana terganjal oleh kasus dugaan penistaan agama, Paslon 1 dan Paslon 3 memanfaatkan momen dengan membentuk opini publik bahwa jangan pilih pemimpin yang kata-katanya dapat memecah belah umat. Sidang demi sidang dilalui. Kebohongan demi kebohongan terungkap. Kecurangan pun tersingkap. Bau busuk politik kotor juga tercium menyengat. Akhirnya, tanpa malu salah satu Paslon mengonfirmasi pendapatnya bahwa tidak boleh memilih pemimpin non muslim.

Saya melihat masih tersisa sebuah harapan yang masih cerah untuk Paslon 1 dan 3. Harapan tersebut adalah membangkitkan sentimen agama lebih dan lebih besar lagi dentuman dan tabuhannya. Sidang sudah tidak mungkin lagi diharapkan. Debat semalam malah mempecundangi mereka. Mereka selalu kalah data dan pengalaman. Tidak ada lagi cara untuk menghantam balik Petahana selain memainkan sentimen agama lebih besar lagi.

Dan harapan itu ada pada “aksi subuh berjamaah 112”. Itulah mengapa Paslon 1 dan 3 mengikuti kegiatan ini. Acara yang digelar oleh Forum Umat Islam (FUI) ditujukan untuk menggelorakan penerapan al-Maidah 51. Kita sudah tahu arahnya kemana, yakni membangun sentimen SARA dalam pesta demokrasi negeri ini yang dibangun di atas pondasi Pancasila.

Kita sangat kecewa dengan keikutsertaan dua Paslon penantang Petahana dalam acara yang sarat SARA ini. Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah yang menjadi pengayom seluruh warganya harus memulai karirnya dengan sebuah keberpihakan kepada agama mayoritas? Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah harus mengorbankan integeritasnya hanya untuk memenangkan Pilkada dengan berpihak kepada oknum yang jelas-jelas merusak kebhinekaan kita?

Apakah sudah se-putus asa itu kedua Paslon untuk berkompetisi dengan Petahana? Sehingga, peluang apapun itu, seberapa kotor itu, seberapa pun buruknya itu bagi demokrasi negeri ini, selama itu masih memungkinkan untuk ditempuh, mereka akan menempuhnya.

Kita akan menjadi saksi sejarah bahwa ada sebuah upaya untuk melemahkan Pancasila di Ibukota. Dengan menggadaikan Firman Tuhan mereka berteriak bahwa si fulan haram menjadi pemimpin. Padahal, apa yang mereka haramkan tak sesimpel itu. Ia perlu ilmu dan kajian panjang yang mendalam. Sebab agama memang tak sesimpel jualan obat atau minyak wangi. Alih-alih mengatasnama umat Islam negeri ini, mereka semakin menggadaikan agama mereka untuk kepentingan politik yang kotor dan busuk.

Semakin kalap semakin mereka berteriak “Hukum Allah harus tegak!” Hukum Allah yang mana? Bukankah kita berhukum pada Pancasila dan Undang-Undang? Indonesia bukan Timur Tengah. Kemerdekaan yang kita dapat dulu adalah hasil perjuangan setiap elemen masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras, dan warna kulit. Bukankah ini yang menjadi cikal bakal dibuatnya “tenun kebangsaan”?

Lalu tiba-tiba, dengan satu sebab “untuk memenangkan Pilkada”, sang penggagas “tenun kebangsaan” itu berkhianat. Menggadaikan idealisme yang dulu sempat ia bangun, meruntuhkan gagasan yang ia rajut kini.

Setiap janji manis tentang Jakarta yang lebih humanis bagi siapapun harus tunduk pada sebuah ambisi memenangkan kontestasi. Sejahat itukah politik hingga membuat orang lupa bahwa bumi itu bulat? Bahwa kebhinekaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita tawar menawar lagi?

Kalau memang genderang perang dengan menggadaikan Firman Tuhan untuk sekedar memenangkan Pilkada telah ditabuh. Maka, bersiaplah saya dan banyak orang lain yang masih percaya bahwa Pancasila adalah alasan kita merdeka dan alasan kita masih bisa bernafas lega di NKRI tercinta ini, untuk berdiri di barisan paling depan.

Kami akan tumpas setiap upaya untuk menggoyahkan kesaktian Pancasila. Kami akan tumpas setiap upaya untuk menjual agama demi kepentingan politik kotor semata.

Kita lihat saja nanti. Sejarah akan mencatat bahwa Pancasila tetap akan perkasa, meski seberapa pun kerasnya upaya untuk menghantamnya.
Demikian semoga bermanfaat,terima kasih.
Sumber:seword.com/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »