Ahok Dijadikan Barometer Keimanan Dan Kemunafikan.



Yang terbaru adalah wicara akibat beredarnya pengumuman via medsos yang mengatasnamakan ulama, habaib, kyai, ustadz/ustadzah DKI, berkaitan dengan pemilihan sosok Ahok di Pilkada DKI

Kata pengumuman itu, mereka tidak akan menghadiri majlis, mauwlid, atau acara lainnya di kampung-kampung DKI yang memenangkan Ahok dalam Pilkada kali ini. Lebih dari itu, mereka katanya bersepakat untuk takkan mengurus dan menyalati jenazah Muslim DKI yang memilih penista agama (tentu maksudnya adalah Ahok).

Malah ada spanduk yang menulis, bahwa mereka juga tidak akan memberi daging kurban kepada Muslim yang kampungnya memenangkan Ahok. Sebegitu jauh rupanya.

Ada teman dari Studi Islam Bandung yang meminta tanggapan. Karenanya saya ingin sedikit berkomentar lagi tentang hal ini. Dan komentar ini merupakan kelanjutan dari komentar yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Jadi, biar utuh, sebaiknya tulisan sebelumnya juga dibaca. Dengan harapan semoga ada manfaat dan maslahatnya.

Saya sebenarnya semula berharap pengumuman itu hanya hoax dan tidak benar. Namun di medsos beredar beberapa jenis gambar spanduk, baik yang sudah terpasang di sebuah masjid maupun sedang dilakukan pemasangan (dengan menampilkan gambar beberapa orang pemasang). Beberapa kalangan juga sudah banyak yang berkomentar. Bahkan MUI juga turut menanggapi. Artinya, dengan begitu, berarti broadcast medsos dan spanduk-spanduk itu menyatakan demikian. Karenanya saya bertanya-tanya dalam hati, apa iya sampai sejauh itu.

Jika isi pengumuman di atas benar-benar dilakukan, saya lihat ini akan membuat citra Islam jadi negatif. Akan membuat kalangan lain (khususnya non Muslim) tidak simpatik kepada Islam (atau tepatnya, kepada sebagian orang yang mengatasnamakan Islam). Di berbagai medsos (terutama medsos yang menampilkan keragaman agama) kita bisa membaca bagaimana komentar-komentar negatif menanggapi hal ini. Di kalangan Muslim sendiri ada yang menyebut hal ini “malu-maluin” dan kekanak-kanakan.

Untungnya kalangan lain tersebut mengetahui bahwa Islam itu bukan hanya yang dipahami oleh kelompok Muslim yang membuat spanduk atau pengumuman tadi. Mereka tahu Islam itu simpatik, toleran, ramah, sejuk dan mencintai kedamaian, rahmatan lil alamin, sekalipun tetap tegas dalam prinsip-prinsip kebenaran..

Dan mereka tahu bahwa umat Islam yang simpatik dan merangkul itu berjumlah mayoritas di sini. Inilah Islam yang sudah ditradisikan para pendahulu dulu, dan masih dominan hingga sekarang.

Tentang hal ini saya teringat sebuah kisah. Dulu, ketika ada seorang jenazah Yahudi diantar rombongan dan melewati Nabi Saw, beliau berdiri memberi penghormatan. Sebagian sahabat berkata, “Dia seorang Yahudi, ya Rasul.” (Cara berpikir sebagian sahabat yang bertanya ini mungkin mewakili sebagian Muslim zaman ini juga).

Lalu apa kata Nabi? Beliau cukup menjawab singkat, “Bukankah ia manusia…?”

Lihatlah, bagaimana Rasul sangat menghormati seorang Yahudi yang sudah tidak bernyawa. Jenazahnya pun beliau hormati. Lalu, bagaimana bisa sebagian umatnya sekarang mengancam takkan mengurus dan menyalati sesama Muslim hanya karena pilihan politik yang berbeda? Kepada yang berbeda agama saja Nabi sangat menghormati, mengapa kepada sesama Muslim sebagian umatnya tidak?

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehebohan yang berkaitan dengan Ahok ini lebih terasa politis ketimbang agamis. Sekalipun yang didengungkan adalah argumen agamis, tetapi diakui atau tidak, aura dan indikasi politis juga terasa. Sekalipun dugaan ini ada yang menolak, tetapi sebagian kalangan melihat demikian.

Gara-gara Pilkada DKI 2017 menampilkan Ahok yan non-Muslim, eskalasinya terasa jauh dan melebar. Sampai dibawa-bawa ke urusan keimanan seseorang. Yang satu pilihan dianggap satu iman, dan yang berbeda pilihan dianggap munafik bahkan kafir (murtad). Oleh sekelompok orang, Ahok dijadikan barometer untuk membagi umat Islam menjadi dua bagian, yakni mukmin dan munafik (bahkan kafir atau murtad). Sampai sebegitunyakah…?

Formulanya, yang tidak memilih Ahok dianggap Mukmin, sedangkan yang memilih atau mendukungnya dianggap munafik. Sampai sejauh ini kesimpulannya. Apakah hal ini dibenarkan oleh Islam?

Berbagai pihak ada yang memperlihatkan bahwa partai yang para pendukungnya sering membawa-bawa agama dalam memenangkan pilihan politik, justru mengusung calon kepala daerah non Muslim di daerah lain, sekalipun pesaingnya ada yang Muslim. Seperti di Medan yang 80% an penduduknya Muslim. Juga daerah lainnya. Dan di daerah-daerah tersebut hal ini tidak dipersoalkan. Sehingga sebagian orang menilai, tafsiran ayat al-Maidah 51 itu hanya diberlakukan bagi Ahok.

Karenanya, ada anggapan, bahwa alasan haram memilih calon kepala daerah non Muslim itu hanya berlaku untuk Ahok, dan tidak untuk yang lain. Jika alasannya murni berdasarkan sebuah tafsir agama yang diyakini, kata mereka, seharusnya berlaku juga di daerah-daerah lain…

Karenanya ketika sekarang tersebar pengumuman seperti di atas, itu juga dianggap mempolitisir urusan ibadah (agama). Menyalati jenazah itu ibadah fardu kifayah. Mengapa dikaitkan dengan politik Pilkada?

Mungkin saja ini efektif sebagai ancaman bagi sebagian Muslim pendukung Ahok sehingga mereka mengalihkan suara. Tapi bisa jadi juga ini akan membuat mereka makin tidak simpatik kepada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk memenangkan pilihan politik…

Ketika Quick Count kemarin menunjukkan bahwa Ahok mendapatkan 43 % an suara, itu bisa bermakna protes sebagian umat Islam terhadap sebagian tokoh Islam yang kemarin ikut dalam sejumlah aksi. Dan jumlah orang Islam yang protes itu ternyata besar. Ini bisa bermakna protes, bisa juga bermakna bahwa suara para tokoh itu tidak didengar oleh banyak umat Islam.

Nah, berkaitan dengan ancaman takkan disalati, jika umat Islam yang besar itu tidak dirangkul (malah diancam dan “dipukul”), jangan salah jika nanti para tokoh itu ditinggalkan umat. Bukan hanya makin tidak didengar, bahkan dijauhi. Dan umat akan mencari figur-figur lain yang siap mengayomi mereka.

Kemudian, jika umat Islam pendukung Ahok dimunafik-munafikkan atau bahkan dikafirkan, maka kalau begitu, tinggal berapa persen lagi umat Islam di Jakarta. Katanya ada 80% an. Jika dikurangi oleh Muslim pendukung Ahok, mungkin tinggal 55 % an saja.

Apakah para tokoh itu rela dan tega menyaksikan menyusut drastisnya populasi umat Islam di Jakarta gara-gara pilihan politik yang berbeda, dan penyusutan itu juga akibat ulah mereka yang mengkafirkan sesama Muslim?

Dalam prinsip dakwah, Nabi mengajarkan, ” Yassiruu walaa tunaffiruu.” Mudahkanlah, jangan bikin orang menjauh. Kalau umat yang sudah Muslim saja diancam seperti di atas, lalu dimunafikkan, maka bagaimana umat akan mendekat. Isi pengumuman di atas tidak menerapkan prinsip dakwah Nabawi ini.

Dalam QS al-Nisa, 4:94, Allah melarang mengatakan “Kamu bukan Mukmin” kepada orang yang mengucapkan salam kepada kita karena menginginkan keuntungan duniawi. Kepada seseorang (yang tidak dikenali sebagai Muslim) yang hanya mengucapkan salam saja kita dilarang menyebutnya kafir, lalu bagaimana bisa menyebut munafik atau kafir kepada orang-orang Muslim yang biasa salat dan menjalankan ritual Islam lainnya?

Jika seseorang telah mencapai tingkat ulama, maka ia harus mewarisi akhlak dan kesabaran para Nabi. Terus mengayomi, membina dan membimbing. Mengajak dan merangkul. Membentangkan tangan dan memeluk. Bagaimana saat Nabi Saw dilempari batu di Thaif, di Mekkah, terancam nyawa di Uhud, dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh kesabaran seorang Nabi yang harus diwarisi. Dan kepada orang-orang itu beliau tidak menebarkan ancaman bahkan terus membentangkan kasih sayang, sekalipun mereka belum berislam.

Lalu sekarang mengapa ada ancaman tidak menyalati dan lain-lain itu yang ditujukan kepada sesama Muslim, hanya karena perbedaan pilihan politik.

Jelas, bukan hanya mantan presiden yang tidak pantas bersikap baper. Orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh keagamaan pun sama, tidak pantas untuk baper atau pundungan. Tokoh-tokoh agama pun harus meneladani akhlak, mental, dan karakter Nabi. Harus selalu sabar dan tetap mengasihi umat.

Tidak ada nash yang menyebut Ahok sebagai barometer keimanan dan kemunafikan seorang Muslim. Jadi, lihatlah Ahok secara biasa-biasa saja. Maka anggap biasa juga orang-orang yang menilainya: baik yang menolaknya maupun yang memilihnya. Karena tafsir dan pemahaman Islam memang beragam.

Tidak perlu ada dramatisasi seolah-olah memilih Ahok akan menyebabkan kekufuran atau kemunafikan. Anggap dia biasa-biasa saja.

Jika merasa sudah lelah membina umat, hingga tidak bisa sekadar menyalati jenazah sesama Muslim pun, ya beristirahatlah. Toh, ada banyak kader lain yang juga sudah siap, apalagi hanya sekadar menyalati jenazah yang sangat mudah dilakukan.

Yang jelas, dalam menghadapi umat, Nabi berpesan, “Yassiruu walaa tunaffiruu….”
Mudahkan, jangan bikin orang menjauh.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »