Presiden Joko Widodo : Tidak Ada Yang Salah Dengan Ahok Sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kasus Yang Ditudingkan Kepada Ahok Lebih Banyak Muatan Politiknya Daripada Hukumnya.



Secara tersirat sikap Presiden Jokowi terhadap Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa bagi Presiden tidak seharusnya Ahok diberhentikan sementara sebagaimana dikehendaki oleh 4 parpol tersebut di atas. Jokowi menganggap tidak ada yang salah dengan aktifnya kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.


Buktinya, ketika ia meninjau proyek pembangunan Simpang Susun Semanggi, Jakarta Pusat, dan proyek MRT, pada Kamis, 23 Februari lalu, Jokowi sama sekali tidak mempermasalahkan saat Gubernur Ahok mendampinginya. Ia bahkan berdiskusi dengan Ahok mengenai kedua proyek tersebut, dan menyatakan kepuasannya atas begitu cepatnya kedua proyek tersebut dikerjakan sehingga dapat diharapkan bisa selesai sesuai dengan yang telah dijadwalkan.


Sikap Presiden Jokowi yang mendukung pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta itu bukan hanya berdasarkan alasan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, tetapi juga karena alasan politis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus dugaan penistaan agama yang ditudingkan kepada Ahok sekarang jauh lebih banyak muatan politiknya daripada hukumnya, jadi wajar pula Presiden Jokowi menyikapinya secara politik pula.


Sikap Presiden Jokowi itu diambil dikarenakan dia tahu bahwa bahwa tuntutan untuk menonaktifkan Ahok oleh keempat fraksi itu,  bukan demi penegakan hukum, tetapi adalah semata-mata demi untuk kepentingan keempat parpol itu sendiri. Mereka berkepentingan untuk menyingkirkan Ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta, karena dia dianggap sebagai penghalang utama bagi mereka yang sudah terbiasa merasa nyaman dalam menggarong APBD, sekaligus untuk memuluskan majunya pasangan cagub yang diusung oleh keempat parpol tersebut pula.


Keempat parpol itu sejak awal sudah memanfaatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI Jakarta itu.


Bahkan ada isu yang cukup kuat indikasi kebenarannya yang menyatakan bahwa salah satu tokoh utama mereka yang selalu berada di belakang layar, yaitu Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan tokoh kunci dari berbagai aksi yang mengatasnamakan agama yang bertujuan untuk menyingkirkan Ahok dengan cara memenjarakannya. Ada-tidak adanya kecerobohan Ahok yang menyinggung perasaan sebagian umat Islam itu, aksi-aksi unjuk rasa anti-pimpinan non-Muslim yang dikoordinir oleh ormas-ormas Islam radikal, terutama sekali FPI itu sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum masa kampanye Pilgub DKI tiba.


Ahok adalah calon petahana yang terlalu kuat untuk dilawan secara sportif, maka satu-satunya cara untuk menumbangkannya adalah dengan memanfaatkan sentimen agama dan etnis (SARA), plus dengan menghalalkan penyebaran kebencian dan fitnah SARA terhadap Ahok di media sosial, khotbah-khotbah di masjid-masjid, dan sebagainya. Kecerobohan Ahok yang mengutip Al-Maidah 51 di pidatonya di Kepulauan Seribu itu, merupakan suatu berkah bagi mereka, dengan tidak perlu menunggu waktu lama, langsung dimanfaatkan semaksmimal mungkin untuk menyerang Ahok secara berkesinambungan dan masif. Padahal, sebenarnya, kasus tersebut merupakan kasus sederhana, semacam salah paham, yang dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sebab memang seratus persen Ahok pasti tidak punya maksud untuk menistakan agama Islam, maupun Al-Quran.


Sejak awal kita juga paham bahwa pengadilan yang dilaksanakan sekarang untuk mengadili Ahok dengan tudingan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam terkait pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyinggung Al-Maidah 51 itu, sesungguhnya merupakan pengadilan yang “terpaksa” dilakukan dikarenakan keberhasilan ormas-ormas keagamaan radikal yang diprakarsai oleh FPI, yang berhasil menghimpun kekuatan massa dalam jumlah besar untuk memaksa kehendaknya terhadap Pemerintah dan Polri untuk menangkap dan memenjarakan Ahok.


Kehendak itu tidak dipenuhi Pemerintah dan Polri, karena memang sesungguhnya tidak ada alasan hukum yang kuat untuk langsung menangkap dan memenjarakan Ahok. Tetapi, untuk meredam susana sosial-politik yang saat itu sangat panas, “jalan tengah” pun ditempuh oleh Polri dengan memroses hukum terhadap Ahok, ia ditetapkan sebagai tersangka, dan proses hukum selanjutnya diserahkan kepada pengadilan. Siapapun yang mau jujur dan obyektif bisa melihat bahwa sesungguhnya pemaksaaan kehendak agar Ahok dipenjara itu bukan semata-mata demi alasan hukum, tetapi merupakan alasan yang bersumber pada paham sektarianisme agama yang menolak secara ekstrem Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta lagi, karena dia Kristen dan Tionghoa.  


Paham radikalisme, fundamentalisme, dan sektarianisme agama memang sangat anti terhadap semua orang/pihak yang berbeda dengan mereka, apalagi jika yang berbeda itu mau dijadikan pimpinannya. Maka itu, mereka berupaya dengan segala cara untuk menyingkirkan Ahok yang ingin menjadi gubernur lagi.


Kecerobohan Ahok menyinggung Al-Maidah 51 itu merupakan momentum yang paling pas bagi mereka untuk secara terus-menerus dan masif menyerang Ahok untuk menyingkirkannya selama-lamanya dari kemungkinan memimpin lagi DKI Jakarta. Mereka mengaku NKRI harga mati, tetapi menolak pluralisme, menolak kebhinekaan, menolak adanya pengakuan negara terhadap adanya persamaan hak dan kewajiban setiap WNI di dalam hukum dan pemerintahan. Padahal, jelas-jelas NKRI bukan negara yang beralaskan agama, tetapi beralaskan pada Pancasila dan UUD 1945, yang menjaminkan dalam kehidupan bernegara semua WNI bersamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan, semua WNI asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Undang-Undang berhak menjadi apa pun di negara ini, termasuk menjadi pimpinan di pemerintahan, termasuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Namun ormas-ormas keagamaan radikal itu tidak mau tahu, mereka terus menyerang Ahok sebagai penista agama, yang seolah-olah sudah melakukan dosa yang sangat luar biasa besarnya, sehingga tidak mungkin bisa dimaafkan.


Kesalahan tak disengaja Ahok itu pun terus dibesar-besarkan, dengan memprovokasi masyarakat untuk menolak Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dengan isu SARA, dengan menyebarkan kebencian ala penganut radikalisme dan sektarianisme, dengan menyatakan membunuh Ahok itu halal, darah Ahok itu halal, dan sejenisnya.  Bahkan disinyalir pula, momentum unjuk rasa besar-besaran itu pun dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang ada di antara mereka untuk tujuan yang lebih jauh lagi, yakni menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi, menggantikan dasar negara Pancasila, dan menjadikan Indonesia negara khilafah.


Parpol-parpol anti-Ahok, yang sudah lama sangat ingin menyingkirkan Ahok, apalagi dengan adanya kepentingannya di Pilgub DKI Jakarta 2017 pun memanfaatkan situasi ini, status Ahok sebagai terdakwa penistaan agama pun dimanfaatkan dengan semaksmimal mungkin, dengan mendesak Pemerintah untuk sesegera mungkin menonaktifkan Ahok, padahal di daerah lain ada juga calon kepala daerah yang berstatus terdakwa, misalnya seperti di Gorontalo, tetapi keempat parpol itu sedikit pun tidak pernah mempermasalahkannya.


Saat unjuk rasa besar-besaran berlangsung saja kita sudah tahu parpol-parpol itu, terutama sekali dari Demokrat (SBY dengan pidato “lebaran kudanya”), Gerindra (yang diwakili Fadli Zon) dan PKS (yang diwakili Fahri Hamzah) secara terang-terangan ikut mendesak agar Ahok segera dipenjarakan demi penegakan hukum, padahal sebenarnya demi kepentingan politik mereka di Pilgub DKI jakarta.


Presiden Jokowi mengetahui semua itu, oleh karena itu ia tiada ragu sedikitpun untuk mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif. Sikap Jokowi itu juga ditunjukkan dalam bentuk simbol dan sinyal politik yang dikirim kepada parpol-parpol itu bahwa ia sepenuhnya mengakui Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/danielht/jokowi-yang-mempertahankan-ahok-ini-alasannya_58b0ef74107f61ae043debc0

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »